I.
Pendahuluan
a)
Latar
Belakang
Sebelum
mengetahui sejarah Misi Katolik Roma di Indonesia, penulis akan menjelaskan
terlebih dahulu latar belakangnya yang dimulai Pada abad ke 14. Pekabaran Injil
di Asia pada saat itu menjadi macet akibat munculnya agama Islam. Gereja
Nestorian yang dikenal dengan paham duofisitpun sudah hampir hilang, padahal
sebelumnya daerah pekabaran injilnya begitu luas. Misi di Eropa barat juga ikut
berhenti dikarenakan jalan darat dalam pekabaran Injil mulai tertutup. Pada
awalnya yang memeberitakan Injil di Asia (Amerika) adalah
missionaris-missionaris Katolik. Pada saat itu dari pihak Protestan hampir
tidak ada usaha sama sekali. Sebaliknya dalam gereja Katolik timbul semangat
mengabarkan Injil. Dikarenakan Kontra-Reformasi, muncullah semangat yang luar
biasa, yang tidak hanya berarah pada perlawanan terhadap kaum Protestan,
melainkan juga berarah ke daerah-daerah diluar Eropa. Kegiatan di daerah-daerah
tersebut menjadi mudah karena sebagian besar merupakan daerah jajahan Spanyol
dan Portugal yang merupakan dua negara di Eropa Selatan yang tidak terpengaruh
Reformasi. Sejak tahun 1350, orang-orang Portugis sudah mencari jalur laut ke
Asia. Awalnya mereka memiliki dua maksud tersendiri dari pelayarannya, yaitu;
untuk berdagang dan meneruskan perang salib di tempat-tempat yang dikuasai
Islam[1].
b)
Batasan
Permasalahan
Penulis
akan menjelaskan tentang sejarah Misi Katolik Roma di Indonesia yang akan
dimulai dari sejarah awal masuknya Roma Katolik di Indonesia, namun mengingat
banyaknya peristiwa yang terjadi, maka penulis akan membatasi pembahasan dan
akan lebih mendalam pada sejarah masuknya Roma Katolik di Indonesia ini beserta
tantangan dalam Misi Katolik dan Tokoh Misi Katolik Roma di Indonesia.
II. Misi Katolik Roma di Indonesia
A. Masuknya Agama-agama di Nusantara
Sudah
sejak lama Nusantara menjadi jalur perdagangan antar negara dan bahkan benua.
Nusantara sendiri saat itu menghasilkan rempah-rempah yang berasal dari Maluku
yang dinilai sangat berharga. Banyak saudagar-saudagar dan pedagang-pedagang
dari negara lain seperti India, Mesir, Tiongkok, Persia, Eropa dan Arab
akhirnya berlomba-lomba mendapatkan bumbu tersebut dan membawanya ke negara
masing-masing, Nusantarapun menjadi jalan dagang tersohor dan kota-kota
pelabuhan sempat menjadi daerah kaya di masa itu. Dari kekayaan itu, mereka
dapat menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya. Timbullah banyak kerajaan yang
tersebar di Nusantara seperti Sriwijaya, Mojopahit, Pajajaran, Ternate, Tidore,
Bacan, Jailalo dan banyak lagi kerajaan besar-kecil lainnya[2].
Pada
mulanya masyarakat-masyarakat di Nusantara memeluk agama-agama suku namun
lambat laun masuklah berbagai agama dari negara-negara luar melalui
pedagang-pedagang yang datang ke Nusantara. Pada abad-abad pertama sesudah
Masehi, pedagang-pedagang Kristen dari Mesir dan Persia menetap di Arabia
tenggara, India barat dan selatan, serta di Srilangka. Dari tempat tersebut
kemungkinan terdapat pedagang-pedagang Kristen yang ikut datang ke Nusantara.
Dalam sebuah buku yang ditulis di Mesir ± tahun 1050 sesudah Masehi, tercatat
bahwa terdapat beberapa gedung gereja di “Pansur”. Dan yang dimaksud dengan “Pansur”
kemungkinan adalah Barus yang berada di pantai barat Sumatera utara. Selain
Kristen, ada lagi agama-agama lain yang masuk ke Nusantara seperti Hindu dan
Budha yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari India dan Cina. Agama tersebut
berkembang di kerajaan-kerajaan yang ada, seperti Hindu yang berkembang di
kerajaan yang ada Pulau Jawa dan Budha berkembang di kerajaan yang ada di
Sumatera.
Memasuki
abad 13, masuk lagi sebuah agama ke Nusantara yaitu Islam. Pada saat itu agama
Islam di bawa oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Arab, Mesir, Persia, dan
bahkan Gujarat yang saat itu sudah dikuasai oleh Islam. Islam berkembang lebih
pesat di Nusantara karena para pedagang Islam tadi menetap di salah satu tempat
dan kawin dengan bangsawan yang ada di Nusantara. Tidak hanya itu banyak juga
raja-raja beralih memeluk Islam dan memperluas wilayahnya dengan menyerang
tetangganya yang masih kafir. Dari situ dapat dilihat bahwa agama-agama yang
datang dan sudah berkembang di Nusantara adalah Islam, Hindu, Budha, Kristen
yang masih minoritas di masa itu, serta agama-agama suku[3].
B. Masuknya Roma Katolik di Indonesia
Memasuki
abad 15 bangsa Portugis mulai menjelajah Afrika. Dengan didorong kepentingan
dagang, semangat menemukan jalan ke India yang dinilai pada waktu itu merupakan
suatu wilayah yang kaya akhirnya dimulai[4].
Selain hendak berdagang, Portugis juga memiliki maksud lain, yaitu hendak
menguasai dan menghancurkan lalu lintas perdagangan orang-orang Asia terutama
Turki dan orang-orang Eropa. Timbul lagi alasan lainnya yang adalah mengenai
agama. Bangsa Portugis akhirnya merasa bertanggung jawab atas penyiaran agama
Kristen di laut seberang. Pada saat itu Paus sangat menyetujui dan mendorong
maksud pekabaran Injil ke negeri-negeri yang lebih jauh lagi. Bahkan sebagai
rangsangan, Paus hendak memberikan hadiah kepada raja-raja Portugis yang
berhasil menemukan daerah-daerah baru tersebut. Saat itu, raja-rajalah yang
berhak mengirim dan membiayai missionaris PI, dan sistem ini dikenal dengan
istilah padroado[5].
Di setiap kapal yang berlayar mengarungi lautan inilah terdapat imam-imam yang
bertujuan memelihara kerohanian awak kapal yang ada dan setelah mendarat
barulah misi mengabarkan Injil kepada penduduk setempat terjadi.
Sekitar tahun 1492
kapal-kapal Spanyol yang juga ikut berlayar bersama dengan Portugis menemukan
benua Amerika yang dipimpin oleh Colombus. Saat itu terjadi persaingan antara
Spanyol dan Portugis dalam menduduki wilayah-wilayah yang mereka inginkan dan
akibat dari itu pada tahun 1494 Paus membagi 2 dunia, Amerika akan menjadi
wilayah kekuasaan Spanyol dan Asia menjadi wilayah Portugis. Namun lambat laun
masing-masing bangsa tersebut melanggar pembagian batas dari Paus itu, sehingga
Portugis bisa sampai ke Brasila dan Spanyol sampai ke Filipina. Dan pada tahun
1498 akhirnya Vasco da Gama memimpin pasukan pelayarannya melewati ujung
selatan benua Afrika dan sampai ke India.
Dalam
penjajahan Portugis dan Spanyol terdapat beberapa ciri yang khas yang dapat
terlihat, misalnya, dalam penjajahan Portugis dibeberapa wilayah di dunia,
mereka hanya mendirikan beberapa benteng di wilayah jajahan yang kecil daerah
sekitarnya. Kemudian bangsa Portugis yang menjajah ini pada umumnya menetap di daerah-daerah
yang termasuk dalam wilayah negara-negara yang kuat dan sudah memeluk
agama-agama tinggi yaitu Islam, Hindu, dan Budha, Nusantara adalah salah satu
wilayah tersebut. Sedangkan dalam penjajahan Spanyol, mereka memiliki ciri khas
dengan menjajah ke seluruh wilayah yang ditemukannya (Amerika Selatan/Tengah
dan Filipina) dan wilayah jajahan mereka sebagian besar memiliki penduduk yang
beragama suku yang lambat laun tidak dapat mempertahankan diri dari serangan
senjata api pasukan tentara dan Injil dari missionaris Spanyol[6].
Orang-orang Portugis
akhirnya sampai ke perairan Nusantara melalui jalur laut sebelah barat. Dan pada
tahun 1511 orang-orang Portugis berhasil menaklukkan Malaka. Pada saat itu Malaka merupakan pusat perdagangan yang
penting dan pada tahun 1512 Portugis sudah masuk ke Maluku. Sekitar tahun 1522
mereka menetap di Ternate dan mendirikan sebuah benteng yang bernama Sao Paulo
yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan beribadah para
saudagar-saudagarnya. Di situ pula pelayanan gereja di Nusantara mulai
terlihat, Portugis memulai misi mengabarkan Injil kepada penduduk asli yang
berada di dekat benteng. Pada saat itu sudah terdapat tiga daerah kekuasaan
Portugis yaitu di Goa India Barat, Malaka, dan Ternate. Ternate dijadikan
pangkalan militer dan Misi Portugis di Indonesia. Nasib dari misi Portugis
tersebut tergantung dari hubungan antara orang-orang Portugis dengan penguasa Ternate
pada saat itu yang merupakan seorang sultan bernama Hairun. Akhirnya dari pihak
Portugis dan sultan Hairun menjalin hubungan dagang. Di Maluku sendiri saat itu
penduduknya terbagi atas dua golongan, yaitu: ulisiwa yang merupakan golongan
masyarakat beragama suku, dan ulilima yang merupakan golongan masyarakat
beragama Islam di bawah pemerintahan sultan[7].
Pada tahun 1558, Portugis meresmikan sebuah keuskupan di Malaka. Portugis yang
pertama kali memasuki daerah Nusantara dan mengabarkan Injil di Ternate
kemudian melanjutkan menyebarkan Injil ke tempat lain seperti di NTT dan
Sulawesi Utara.
C. Tantangan Misi Katolik
Setelah
tahun 1547, misi pekabaran Injil Portugis di Nusantara mulai terlihat
berkembang namun dalam perkembangannya kedepan gereja terpaksa harus merasakan
banyak tantangan. Pada Gereja di Maluku misalnya harus menghadapi penderitaan
dikarenakan pergolakan politis yang terus menerus berlangsung disana. Pada
tahun 1547-1570 Ternate merupakan pusat dari Misi Portugis. Di tempat tersebut
juga menetap kepala orang-orang Yesuit, Dominikan, dan Fransiskan[8].
Misi gereja saat itu terikat pada kekuasaan negara Portugis, hal inilah yang
mengakibatkan orang-orang Portugis sering terlibat dalam hal-hal politik.
Penguasa atas Ternate saat itu adalah sultan Hairun (1535-1570). Sultan Hairun
menginginkan kerajaannya bisa menguasai seluruh Maluku dan daerah di
sekitarnya, termasuk tiga kerajaan Islam yang lain. Kehadiran Portugis
dianggapnya sebagai penghalang akan keinginannya tersebut. Hairun sebenarnya
tidak menyukai orang-orang Portugis dan juga daerah-daerah yang menerima ajaran
Kristen karena dianggapnya akan menjadi sekutu Portugis. Salah satu faktornya
ialah karena dua kali ia ditangkap Portugis tanpa alasan yang sah. Namun di
lain hal, ia juga harus terpaksa menjalin kerjasama dengan Portugis.
Pada waktu Portugis dan
Ternate sedang akur, ketiga kerajaan Islam yang lain datang dan memusuhi
Portugis, serta menghambat misi penginjilan mereka. Namun jika sebaliknya
Portugis dan Ternate sedang berseteru, ketiga kerajaan Islam itu bersikap ramah
terhadap mereka dan anggota-anggota misi mereka. Hal ini mengakibatkan misi
Portugis tersebut sempat mendapatkan pukulan terus dari Ternate atau dari
musuhnya yang lain. Meskipun begitu, jemaat-jemaat di sana masih dapat maju.
Bila merasa terancam oleh Ternate, daerah-daerah lain yang beragama Islam
maupun beragama suku meminta pertolongan kepada Portugis dan menyamai kekuasaan
Hairun. Pada zaman itu cara terbaik menjalin persahabatan dengan Portugis
adalah dengan menerima agama mereka, dengan demikian permintaan akan baptisan
kian meningkat dari beberapa daerah.
Di
Halmahera harapan akan perkembangan misi gereja mulai terlihat. Saat itu
orang-orang yang menjadi Kristen di Halmahera utara dan di Morotai kian
bertambah. Namun sekitar tahun 1557 terjadi krisis. Saat itu panglima Portugis
melakukan tindakan yang membuat sultan Hairun marah. Panglima Portugis merebut
cengkeh yang merupakan milik sultan, ketika sultan mengetahui tindakan panglima
tersebut, sultanpun tidak terima dan melawannya, namun ia justru ditahan oleh
Portugis. Kemudian Hairun dibebaskan oleh orang-orang Portugis yang tidak
menyukai perbuatan panglimanya tersebut. Sultan yang merasa terhina akan
perbuatan panglima Portugis itu melampiaskan kemarahannya pada orang-orang
Portugis dan jemaat-jemaat Kristen yang ada. Akhirnya terjadi kesusahan yang
menimpa kehidupan orang-orang Kristen di seluruh kepulauan Maluku. Terjadi
Islamisasi di Halmahera, orang-orang yang sudah memeluk agama Kristen dipaksa
untuk memeluk agama Islam. Krisis inipun tidak bisa mempertahankan perkembangan
misi di Maluku utara. Namun lambat laun misi Kristen tersebut mulai dibangun
kembali dan sekitar tahun 1565 jumlah kampung-kampung Kristen menjadi 47 buah
dengan jemaat sebanyak 80.000 jiwa[9].
Di
kepulauan-kepulauan yang dikuasai raja-raja Islam, misi Kristen juga dapat
terlaksana. Pada awalnya raja-raja tersebut sempat memberikan hambatan terhadap
orang-orang Kristen, namun hal ini mulai berubah ketika hubungan Portugis
dengan sultan Hairun menjadi tidak akur. Saat raja Bacan dan Tidore dibabtis,
hubungan Portugis dan sultan Hairun makin memanas. Sultan Hairun beranggapan
bahwa Portugis hendak membuatnya rugi dengan cara menjalin kerjasama dengan
raja-raja saingannya tersebut. Sekitar tahun 1569, gereja sudah memasuki puncak
perkembangannya, terutama di Maluku Utara. Namun hal itu kembali berubah karena
terjadinya sebuah Krisis baru yang melebihi krisis sebelumnya. Krisis ini
dimulai dari penghambatan akan orang Kristen di Halmahera Utara dari pihak
sultan Hairun yang terjadi sekitar tahun 1568-1569. Orang-orang Portugispun
tidak berkutik akan penghambatan tersebut. Suatu ketika panglima Portugis
melakukan suatu kesalahan besar. Pada awalnya panglima Portugis mengadakan
perjanjian damai dengan sultan Hairun dan keesokan harinya sang sultan
dikhianati dengan cara dibunuh (1570). Akibat dari pembunuhan sultan tersebut
terjadilah peperangan. Benteng Sao Paulopun diisolasikan dari dunia luar oleh
pihak sultan yang dibunuh tadi. Portugis akhirnya menyerah dan sisa-sisanya
menyingkir ke Ambon dan Tidore. Di Tidore ini menjadi pusat baru kekuasaan dan
misi Portugis[10].
Setelah
tahun 1570 misi Kristen di Maluku Utara mulai terlihat hancur berantakan. Namun
di Bacan dan Tidore masih ada jemaat-jemaat kecil yang dapat bertahan selama
beberapa puluh tahun. Tahun 1580, Spanyol yang dari Filipina akhirnya datang membantu
Portugis dan bersama-sama berhasil mengalahkan Ternate pada tahun 1606. Berkat
kemenangan ini misi di Halmahera berangsur-angsur dapat dijalankan kembali,
namun beberapa tahun kemudian sekitar tahun 1613, misi di Halmahera akhirnya
berhenti dan memaksa para missionarisnya angkat kaki dari tempat itu. Hal ini
dikarenakan munculnya suatu kekuasaan baru di Maluku[11],
yaitu para orang-orang Belanda. Pada saat itu sultan Ternate pengganti Hairun
menjalin kerjasama dengan Belanda. Pada akhirnya jemaat hasil misi Portugispun
tidak bersisa di tempat tersebut karena Belanda juga melakukan Protestanisasi
di tempat tersebut. Namun meskipun begitu, misi pekabaran injil Roma Katolik
menuai keberhasilan di kepulauan Timor, Flores, dan Solor.
D. Fransiskus Xaverius
Dalam
perjalanan Misi Katolik di indonesia tidak terlepas dari seorang tokoh yang
sangat berpengaruh akan perjalanan perkembangan Misi tersebut, ialah Fransiskus
Xaverius. Fransiskus Xaverius lahir di Spanyol sebagai anak bangsawan pada
tahun 1506. Ia bercita-cita menjadi seorang imam meskipun tanpa merasa ada
panggilan tertentu. Pada awalnya Xaverius bekerja di Goa, di tengah-tengah
masyarakat yang terlihat sangat hancur. Meskipun begitu ia tetap melayani
masyarakat pribumi dan berlayar ke daerah utara Goa untuk membina jemaat yang
terlantar disana. Dua tahun lamanya ia berada di India lalu mendengar adanya
kesempatan baik di Sulawesi Selatan dan mulai berangkat ke Malaka. Setelah
sedikit-sedikit belajar bahasa Melayu, iapun berangkat ke Maluku. Di Maluku ia
bekerja selama 15 bulan lamanya.
Xaverius
adalah seorang perintis gaya baru dalam menjalankan Misi Katolik. Saat itu di
Ternate, orang-orang Kristen hidup seenaknya dan sama sekali tidak paham akan
hal agama. Dari situ Xaverius menyelenggarakan pelajaran tentang agama Kristen
kepada anak-anak dan orang dewasa. Dalam mengajar ia mempunyai metode
rumusan-rumusan pokok iman Kristen, seperti pengakuan iman rasuli, doa Bapa
kami, salam Maria, sepuluh perintah dan lainnya lagi yang dikajinya didepan
orang yang berkumpul[12].
Para pendengarnya harus mengulangi naskah-naskah yang dikajinya tersebut sampai
hafal. Pada malam hari, Xaverius memegang lonceng dan mengajak para penduduk
untuk mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian. Di Ternate sendiri, Xaverius
menyusun semacam katekismus dalam bentuk sebuah syair lagu yang di dalamnya
mengandung penjelasan dari pengakuan iman. Saat itu bahasa yang dipakai adalah
bahasa Portugis, tetapi ada juga yang sudah dimuat dalam bahasa Melayu yang
dipakai diseluruh Maluku. Xaverius terus berupaya mengajarkan ilmu keagamaan
terhadap orang-orang Kristen tersebut dengan tujuan agar mereka meninggalkan penyembahan-penyembahan
berhala hingga benar-benar dan sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus.
Tidak hanya dengan orang Kristen, Xaverius jiga bergaul dengan orang beragama
Islam di Ternate, bahkan pada sultan Hairun. Dengan menjalin persahabatan, ia
mengunjungi banyak jemaat di Halmahera yang tengah berantakan dan lama tidak
melihat kedatangan seorang imam.
Di
Ambon terdapat 7 kampung yang sudah berhasil dikristenkan. Di tempat tersebut
ia menggunakan metode yang hampir sama. Dengan di temani seorang anak laki-laki
ia memasuki banyak rumah yang di dalamnya terdapat orang-orang yang butuh di
layani secara rohani. Anak-anak yang mengikutnya tadi juga menjadi penghantar
mengucapkan pengakuan iman rasuli dan kesepuluh perintah. Tidak hanya itu ia
juga mengajarkan doa-doa dan pokok-pokok iman lainnya kepada anak-anak dan
orang dewasa ditempat itu dengan dibantu jurubahasa. Selain kepada orang
Kristen, Xaverius juga berusaha mengajarkan Injil kepada orang-orang yang
menganut agama nenek moyang dengan mengelilingi Leitimor, pulau Seram, Saparua,
dan Nusa laut[13].
Tidak mau menetap di Maluku, ia akhirnya meninggalkan Maluku dan pergi ke
Jepang. Dari keberangkatannya banyak pihak yang sangat menyayangkannya, bahkan
bagi orang-orang Islam kala itu.
III. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Nusantara sejak
awal sudah menjadi jalur dagang tersohor dan kaya. Saudagar-saudagar yang
datang ke Nusantara untuk berdagang membawa agamanya masing-masing seperti
Islam, Kristen, Hindu serta Budha dan lambat laun berkembang di Nusantara.
Islam sendiri yang masuk pada abad 13, merupakan agama yang paling sukses
berkembang di Indonesia karena banyak pedagangnya kawin dengan bangsawan
Nusantara serta banyaknya raja-raja yang beralih ke agama tersebut. Memasuki
abad 15 orang-orang Portugis dan Spanyol mempunyai maksud tersendiri untuk
datang ke wilayah Asia dan Amerika yaitu hendak meraup keuntungan dengan
berdagang, menguasai jalur perdagangan yang saat itu dikuasai Islam, dan hendak
menyebarkan kembali Injil. Pada akhirnya Portugis berhasil memasuki Malaka
tahun 1511, kemudian ke Maluku pada tahun 1512. Memasuki tahun 1522, Portugis
sudah berada di Ternate dan membangun benteng disana yang diberi nama Sao
Paulo. Di sana Portugis mulai menyebarkan injil kepada orang-orang pribumi yang
berada di sekitar benteng. Setelah berkembangnya misi pekabaran injil yang
dibawa Portugis, mereka harus merasakan banyak tantangan. Tantangan pertama
datang dari pihak kekuasaan Ternate pada waktu itu yaitu dari sultan Hairun dan
tantangan kedua datang dari kekuasaan baru yang bergabung dengan kekuasaan
sultan Hairun yaitu pihak Belanda. Pada tahun 1613, misi pekabaran injil di
Maluku terlihat gagal karena Belanda yang juga datang di kala itu melakukan
Protestanisasi terhadap orang-orang di Maluku. Meskipun di Maluku terlihat
gagal, misi pekabaran injil dari Roma Katolik dapat berjalan baik di kepulauan
Timor, Flores, dan Solor. Dalam perkembangan Misi Roma Katolik tidak terlepas dari peranan tokoh
yang ikut membantu. Ialah Fransiskus Xaverius (1506), seorang anak bangsawan
dari Spanyol yang menempatkan diri sebagai pelayan gereja saat itu. Dalam
mengembangkan Misinya, Xaverius menggunakan metode-metode yang unik kepada
masyarakat Maluku seperti menyelenggarakan pelajaran tentang agama Kristen,
mengajarkan pengakuan iman rasuli, salam Maria, sepuluh perintah Allah, dan doa
Bapa kami. Dalam mengajar, Xaverius dapat dikatakan sukses seperti di beberapa
tempat di Leitimor, pulau Seram, Saparua, dan Nusa laut. Setelah 15 bulan
bekerja, Xaverius akhirnya meninggalkan Maluku dan berlanjut ke Jepang karena
melihat sebuah peluang di sana. Karena Xaverius dikenal sangat bersahabat, saat
keberangkatannya banyak masyarakat Maluku yang menyayangkannya dan menjadi
sedih, bahkan sultan Hairun mudapun ikut merasakannya.
[1]. Thomas Van den End, Harta dalam
Bejana Sejarah Gereja Ringkas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 204-205
[2]. Dr.
Th. Van den End, Ragi Carita I Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 19
[3]. Ibid.
[4] . Ibid. hlm. 28
[6] . Thomas Van den End, Harta dalam Bejana Sejarah Gereja Ringkas,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 205
[7]. Ibid. hlm. 212
[8] . Dr. Klaus Wetzel, Kompendium
Sejarah Gereja Asia, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2000), hlm. 143
[9]. Dr. Th. Van den End, Ragi
Carita I Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009) hlm. 55
[10]. Ibid.
[11]. Ibid. hlm. 56-57
[12]. Thomas Van den End, Harta dalam
Bejana Sejarah Gereja Ringkas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 207
[13]. Op. Cit. hlm. 50